Al-Qur’an Sejati

Atas dasar Ilmu Sejarah (Dalil Sam’i), dipercayai oleh umat Islam bahwa diterimanya Al-Qur’an oleh NABI MUHAMMAD SAW terjadi secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Yang terbagi dalam 2 periode, yaitu Periode Mekkah (surat Makkiyyah) 13 tahun, dan periode Madinah (surat Madaniyah) dalam kurun waktu 10 tahun

Penulisan Al-Qur’an dan perkembangannya

Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur’an sudah dimulai sejak zaman NABI MUHAMMAD SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.

A.  Pengumpulan Al-Qur’an di masa Rasullulah SAW

Pada masa ketika NABI MUHAMMAD SAW masih hidup, terdapat beberapa orang (hafiz) yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur’an yakni :

1.   Zaid bin Tsabit

Kekuatan daya ingat Zaid bin Tsabit telah membuatnya diangkat penulis wahyu dan surat-surat Muhammad semasa hidupnya, dan menjadikannya tokoh yang terkemuka diantara para sahabat lainnya. Pada zaman kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, Zaid bin Tsabit adalah salah seorang yang diamanahkan untuk mengumpulkan dan menuliskan kembali AL-QURAN dalam satu mushaf.

2.   Ali bin Abi Talib

Ketika NABI MUHAMMAD SAW menerima wahyu, Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tesebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada sahabat-sahabat yang lain.

3.   Muawiyah bin Abu Sufyan

Bergelar Muawiyah I adalah khalifah pertama dari Bani Umayyah. Ia diakui sebagai khalifah sejak Hasan bin Ali, berbai’at padanya.

4.   Ubay bin Kaab

Ubay merupakan salah seorang penulis bagi Nabi Muhammad. Ubay diriwayatkan memiliki suatu mushaf khusus susunannya sendiri. Ubay juga adalah anggota kelompok penasehat (mushawarah) yang dibentuk oleh khalifah Abu Bakr sebagai tempat bertanya atas berbagai permasalahan. Dewan tersebut terdiri dari Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Ubay bin Kaab sendiri. Setelah menjadi khalifah, Umar bin Khattab kemudian juga meminta nasehat dari kelompok yang sama, khususnya kepada Utsman, Ubay dan Zaid bin Tsabit.

Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah wahyu diturunkan.

B.  Pengumpulan Al-Qur’an di masa Khulafaur Rasyidin

1.  Pada masa pemerintahan Abu Bakar

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi perang Ridda yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur’an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang khawatir akan keadaan tersebut, meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur’an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur’an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri NABI MUHAMMAD SAW.

2.  Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan

Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur’an (qira’at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan “kekhawatiran” Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur’an.

Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan dalam Mahabits fi ‘Ulum Al Qur’an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur’an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).

Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur’an

Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur’an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur’an itu sendiri.

Terjemahan Al-Qur’an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur’an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur’an. Sebab Al-Qur’an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; terkadang untuk arti hakiki, terkadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.

*Taken from Wikipedia

  

Pembahasan

DALIL AQLI (atas dasar dalil sam’i) :

Kitab Majazi yang selesai di”buku”kan ( bentuk lembaran yang berisi text ) dimasa kekhalifahan Ustman bin Affan, tentu saja tidak pernah dilihat, dibaca atau di pegang oleh NABI MUHAMMAD SAW. Karena kitab ini selesai di susun 7 tahun setelah meninggalnya NABI MUHAMMAD SAW.

Maka AQAL tidak dapat membantah bahwa “KITAB” yang dibaca, yang difahamkan NABI MUHAMMAD SAW atau yang disebut atau dimaksud dalam QS. Al Baqarah : 2, bukanlah “Kitab” yang sama dengan kitab yang popular atau dikenal sekarang ( Kitab Mazaji).

DALIL NAS ( Dari Al Qur’an Majazi ) :

Al Qur’an Majazi, yang banyak beredar sekarang ( di toko-toko buku, bahkan banyak yang dilengkapi “tafsir”nya )… ibarat “resensi” atau hasil bacaan “QUR’AN” ( Kitab yang “nyata” / terang ), yang dibahasakan melalui mulut NABI MUHAMMAD SAW.

…. Sungguh keberadaannya (Kitab Mazaji) adalah sebagai “rambu – rambu petunjuk“, yang menunjukan, yang menyatakan “ada”nya Haqiqat “QUR’AN” yang menjadi sumber atau bacaannya NABI MUHAMMAD SAW.

A.  Dalil AQLI,

sesuatu yang disebut / dinamai pasti ada “objek”nya, maka Al Qur’an Majazi sendiri menyebutkan adanya “objek” ( QUR’AN ) yang menjadi bacaan NABI MUHAMMMAD SAW. Diantaranya :

1. AL QUR’ANUL MAJID.

 

QS. Qaaf : 1

2.      AL QUR’ANUL ADZIM

 

QS. Al Hijr : 87

3.      AL QUR’ANUL KARIM

 

QS. Al Waqiah : 77

4.      AL QUR’ANUL HAKIM

 

QS. Yaasiin : 2

 

Bacaan atau “QUR’AN” inilah yang pada awal keNABIannya Muhammad, diperintahkan oleh Allah SWT untuk … “IQRA…!!!”. Dan banyak sekali “rambu-rambu” yang disebutkan dalam Al Qur’an Mazaji, yang menunjukan sifat-sifat dari “QUR’AN” yang merupakan bacaan NABI MUHAMMAD SAW. Berikut adalah “Tafsir” Al Qur’an Mazaji yang memaparkan sifat – sifat dari QUR’AN tersebut :

  • (Rabb) Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan AL-QURAN. (QS. Ar Rahmaan : 1 – 2).
  • Yang mengajar (manusia) dengan perantaran KALAM. (QS. Al Alaq : 4).
  • Maka apakah mereka tidak memperhatikan AL-QURAN? Kalau kiranya AL-QURAN itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. An Nissa:82).
  • Tidaklah mungkin AL-QURAN ini dibuat oleh selain Allah; … (QS. Yunus : 37).
  • Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat Kitab yang nyata. Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa AL-QURAN dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya*. (QS. Yusuf : 1 – 2). *Menunjukan FAHAM sebagai tujuan dari bahasa.
  • Dan sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, (tentu AL-QURAN itulah dia). Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah… (QS. Ar Ra’d :31).
  • Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca AL-QURAN sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan. (QS. ThaaHa : 114)
  • Sesungguhnya ayat-ayat-Ku (AL-QURAN) selalu dibacakan kepada kamu sekalian, maka kamu selalu berpaling ke belakang, (QS. Al Mu’minuun : 66).
  • Berkatalah Rasul: Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan AL-QURAN ini sesuatu yang tidak diacuhkan. (QS. Al Furqaan : 30).
  • Kalau sekiranya kami menurunkan AL-QURAN ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (QS. AL Hasyr : 21).
  1. Dan sesungguhnya AL-QURAN itu benar-benar kebenaran yang diyakini. (QS. Al Haaqqah : 51).
  2. AL-QURAN itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, (QS. Yaasiin : 69)
  3. Sebenarnya, AL-QURAN itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim. (QS. Al Ankabut : 49)
  4. Maka apakah mereka tidak memperhatikan AL-QURAN ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad : 24)

Tafsir dari hasil bacaan NABI yang tersebut diatas, memaparkan sifat-sifat QUR’AN yang menjadi sumber bacaan NABI MUHAMMAD SAW, yang dipakai sebagai landasan IMAN. IMAN yang kokoh dianugerahkan kepada manusia yang beruntung, yang dipertemukan (sehingga menjadi nyata / terang), yang di IDRO kan dengan apa-apa yang di IMAN i nya, sehingga dapat menjelaskan (dengan dasar ILMU), me RASA kan dan ter FAHAM kan.

QUR’AN yang nyata, tidak samar, jelas, terang benderang, yang terkandung dalam pribadi RASULULLAH, yang hanya bisa dibaca atau diamati dengan “mata hati” yang jernih yang sarat akan ILMU dan menempat pada RASA, bukan dengan indera mata.

Atau dengan kata lain, sifat-sifat QUR’AN yang tersebut diatas adalah merupakan tafsir dari “hasil bacaan” dari pengamatan NABI MUHAMMAD SAW (melalui mata hatinya) yang diFAHAMkan oleh ALLAH (melalui KALAM) terhadap “objek” (yang disebut QUR’AN).

Adapun perbedaan Tafsir dengan Kalam, kurang lebihnya adalah :

  • Tafsir : Ketemu kalimat atau pernyataan tetapi tidak ketemu / mengenal objek yang dikalimatkan. ( *ibarat rambu penunjuk, sedangkan tujuan tidak ada disana ).
  • Kalam : Ketemu dengan kenyataan objek dan sudah pasti ketemu dengan pernyataan atau kalimatnya. ( * KALAM itu tidak berbunyi dan tidak berhuruf ).

NABI MUHAMMAD SAW difahamkan akan “6 perkara IMAN” (termasuk kitab atau QUR’AN) melalui KALAM bukan melalui TAFSIR. Sehingga 6 perkara IMAN ini menjadi nyata pada nya.

QUR’AN adalah objek yang nyata (dalam faham NABI MUHAMMAD SAW), yang tunggal dengan kalimatnya, tidak terpisah, bagaikan zat dengan sifatnya. Contoh : Didalam RASA, gula adalah objek dan dalam kalimat : gula itu manis. Manis adalah kalam gula.

Saliknya NABI MUHAMMAD SAW dalam menetapkan IMAN (6 rukun IMAN) adalah dengan “bertemu” dengan “objek” yang di IMAN-i secara nyata, jelas, tidak samar. Kenyataan, kebenaran (bukan yang palsu) yang HAQ. Setelah beliau “ketemu”, me-rasa-kan dan faham sehingga dapat menjelaskan, menguraikannya melalui ILMU yang dihadapkan dengan dalil (bukti,kenyataan yang tidak terbantahkan) kepada para sahabat dan umatnya. Dengan demikian nyatalah sifat Sidiq, Amanah, Fathonah dan Tabligh yang melekat padanya.

Begitu pula dengan orang-orang / kaum ( yang mengaku umat NABI MUHAMMAD SAW ), seharusnya mengikuti dan mempunyai pola fikir (didalam saliknya) yang sama dengan beliau. NABI MUHAMMAD SAW telah membimbing umatnya agar ketemu dengan sumber bacaan “QUR’AN” yang sama dengan bacaannya, sehingga “QUR’AN” ini lah dapat menjadi landasan IMAN ( bukan dari tafsir ).

B.  DALIL NAS ,

Hadist Nabi yang bermakna :

“Aku wariskan kepada ummatku 2 perkara. Yang apabila ummatku berpegang kepada 2 perkara itu, maka jaminan selamat akan diperolehnya. 2 perkara itu adalah “QUR’AN” (bacaan) dan “HADIST” (faktanya).

Makna sesungguhnya :

2 perkara tersebut objek (nyatanya) adalah Pribadi RASULULLAH dan Perbuatan Pribadi RASULULLAH, NABI MUHAMMAD SAW menunjuk kepada Pribadi nya sebagai “QUR’AN” yang HIDUP dan meliputi perbuatannya. Objek nyata ini yang selanjutnya menjadi dasar “Syahadat” (penyaksian yang nyata, terang). Mengenai hadist ini banyak ulama yang menunjuk kepada lembaran kertas berbentuk buku yang bertuliskan huruf bahasa arab / kitab Mazaji dan kepada cerita Hadist (bukan Hadist), sehingga menyesatkan ummat karena mustahil ummat akan sampai kepada “Syahadat”.

Mengenai kedudukan “tafsir” yang dipandang sebagai QUR’AN (oleh mayoritas umat yang mengaku umat NABI MUHAMMAD SAW), maka pandangan ini adalah keliru. Pandangan yang keliru akan melahirkan AKHLAQ yang keliru. AKHLAQ bukanlah moral. Ahklaq adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya yang Haq. Dengan menempatkan “TAFSIR” sebagai kitab suci / pedoman hidup, adalah bertentangan dengan misi yang diemban NABI MUHAMMAD SAW, sebagai penyempurna AKHLAQ. Maka dudukanlah QUR’AN dengan AHKLAQUL KARIMAH.

TAFSIR ibarat rambu penunjuk yang hanya untuk dibaca dan dilewati, bukan sebagai tujuan suatu perjalanan, sedangkan QUR’AN adalah tujuan yang hendak dicapai.

Inilah masalah yang sangat mendasar dan terbukti, bahwa “tafsir” yang di IMAN-i sebagai kitab suci lah yang menjadi sumber perdebatan, perpecahan, kekacauan dan pertikaian. Padahal bila “objek yang nyata” (QUR’AN) yang ditemukan, dijamin tidak akan ada bantahan karena yang diamati adalah objek yang nyata.

Sesungguhnya penerimaan “wahyu” (melalui hantaran malaikat Jibril as.) oleh NABI MUHAMMAD SAW adalah melalui “bahasa” kalam, “bahasa” yang tidak berbunyi dan tidak berhuruf, sehingga NABI MUHAMMAD SAW terFAHAMkan . TerFAHAMkan atas “objek tanpa batas” yang diamati oleh mata hatinya. “FAHAM” inilah yang dibahasakan dengan media bahasa arab ( menjadi terbatas ) oleh NABI MUHAMMAD SAW kepada para sahabatnya. Penyampaian FAHAM ini disampaikan oleh NABI MUHAMMAD SAW kepada para sahabatnya disertai dengan penjelasannya sehingga para sahabat IDRO dengan RASA dan FAHAM tersebut. 

C.  DALIL FI’IL ( Bukti perbuatan / peristiwa ):

Ketika “mata hati” membaca atau mengamati objek (tanpa batas, dalam RASA), “IMAN” maka terserap FAHAM, yang kurang lebih bila dibahasakan (menjadi terbatas, pasti ada distorsi, bias):

  • 1. Alif laam miim. ( tetaplah menjadi sir ).
  • 2. Itu kitab (menunjuk kepada objek QUR’AN) tidak ada keraguan sedikitpun bagi nya ( bagi QUR’AN, semuanya nyata, jelas); petunjuk kepada keTAQWAan. (QUR’AN sebagai petunjuk TAQWA, melalui IMAN).
  • 3. Yang IMAN dengan yang GAIB (kedudukan IMAN dalam GAIB) dan dia (IMAN sebagai objek) mendirikan Shalat (IMAN yang Shalat atau Shalat sebagai perbuatan IMAN) dan dari apa-apa (IMAN yang diuraikan dalam 6 perkara Rukun IMAN) yang telah direzekikan (6 Rukun IMAN) sebagai anugerah ( pemberian ).
  • 4. Dan dia, IMAN (dengan 6 perkaranya) dan dengan apa-apa yang diturunkan (kedudukannya menjadi diFAHAMkan) dalam keadaan kini dan apa-apa yang diturunkan dalam keadaan sebelumnya, dan dengan akhirat (ALLAH & RASUL) yang diyakini. (memaparkan mengenai kondisi IMAN, yang idro (FAHAM dalam RASA) dengan DIA yang WUJUD, yang AWAL & yang AKHIR).
  • 5. Yang demikian atas anugerah petunjuk dari RAB nya (Yang Maha Pemelihara IMAN dengan 6 rukunnya), dan demikian pula baginya (pada IMAN) keberuntungan. (memaparkan IMAN yang selalu disertai keberuntungan, kedudukan “keberuntungan” ada pada IMAN).

Hasil bacaan NABI MUHAMMAD SAW, ketika mengamati objek “IMAN”, terucap dari mulutnya dalam media bahasa arab ( QS. Al Baqarah 1 – 5 ) :

  

Dan oleh ahli TAFSIR (atas dasar ILMU tafsir), hasil bacaan atau pernyataan ( dalam bahasa Arab ) tersebut di atas, ditafsirkan (tanpa ketemu objek yang disebutkan) dan “disebutkan” kembali menjadi :

  1. Alif laam miim.
  2. Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
  3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,
  4. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
  5. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb-nya,dan merekalah orang-orang yang beruntung.

Sungguh terlihat adanya perbedaan makna.

 
Penutup

Saat ini, TAFSIR merupakan “objek” yang sarat dengan perdebatan… yang diakibatkan dari perkembangan nalar manusia dari pengamatannya terhadap suatu “pernyataan” tanpa ketemu dengan objeknya. Perkembangan nalar yang liar, tanpa aqidah, yang menghasilkan pengkondisian atau meyakin-yakinkan IMAN. Faktanya, selami saja www.danalingga.wordpress.com , disana ada kenyatan perdebatan “TAFSIR” yang pasti di temukan.

KITAB yang NYATA, JELAS, TERANG, TIDAK SAMAR hanya berlaku bagi “siapa” yang beruntung yang dipertemukan dengan ILMU dan RASA hingga terFAHAMkan akan objek yang dibaca atau diamati. Dialah yang dianugerahi landasan yang HAQ, landasan IMAN yang kokoh.

Dan sebaliknya, KITAB yang NYATA, JELAS, TERANG, TIDAK SAMAR tidak berlaku manusia yang menganggap atau mendudukan TAFSIR sebagai landasan IMAN, karena tidak dipertemukan dengan objek yang diamati, sehingga akan melahirkan AKHLAQ yang keliru. 

Tanpa mengecilkan peranan para ahli TAFSIR dalam memperkaya khasanah AGAMA, semoga paparan yang sederhana ini mampu menyampaikan sebersit FAHAM yang menyatakan bahwa :

“Ternyata… Mayoritas umat (yang mengaku…) ISLAM, pada saat ini… berpedoman kepada “KITAB” (yang katanya suci…) yang BERBEDA dengan “KITAB SUCI”nya Nabi Muhammad SAW”.

 

INA LILLAHI WA INA ILLAIHI RAJI’UN

ALHAMDULILLAHI RABBIL’ALAMIIN 

 

 

 

 

Baitul Makmur, 14 Mei 2008

 

Abah Dedhot

 

DIsclaimer :

Tulisan ini adalah karya abah dedhot, salah seorang yang sering komen diblog ini. Dan abah berkenan membagikan pemahamannya, dan menitipkannya untuk diposting di blog saya ini.  Jadi ini bukan tulisan saya, saya hanya berperan sebagai pemosting dan sedikit mengedit. Semoga dapat dipahami.

Tinggalkan komentar




Saran Saya

Kepala nyut-nyutan membaca blog ini? Mari santai sejenak sambil ngupi di kopimaya dot com

AKU

Bermakna

Tanggalan

Mei 2008
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031  

Jejak Langkahku

RSS Perjalanan Teman-Teman

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

RSS Spiritualitas Para Teman

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.