Ini adalah sebuah tulisan yang hendak melihat makna kematian dari sebuah sudut pandang yang pada akhirnya melihat kematian itu menjadi layak untuk dirayakan. Menarik bukan ketika kematian itu dirayakan. 😉
Tulisan ini awalnya terinspirasi dari kematian seorang Taufik Savalas , yang pada akhirnya juga mengingatkan kepada 2 kematian orang dekat saya . Dan membuat saya setengah dipaksa kembali merenungkan akan makna kematian.
Dan dari renungan tersebut mengantarkan saya untuk menyadari suatu ironi dari lahir dan matinya seorang anak manusia :
- Ketika dia lahir, maka diapun menangis , menyadari akhirnya dia telah meninggalkan tempat yang nyaman dan lahir hidup di dunia yang penuh sesak ini. Namun orang-orang yang menyambut kelahirannya malah terlihat bahagia. Merayakan bersama keluarga terdekat.
- Dan ketika dia meninggal tampak senyum damai di bibirnya, menyadari kalo dia kembali ke rasa nyaman yang dulu di alami sebelum lahir ke dunia ini. Dan lihatlah, orang orang yang mengantarnya tampak menangis histeris, mengumbar rasa sedih. Dan orang yang sedih itu jauh lebih banyak dari orang yang bahagia ketika menyambut kelahirannya.
Dari peristiwa kelahiran dan kematian seorang manusia tersebut dapat saya tarik hikmah sbb:
Pertama, kita ambil hikmah dari tangisan seorang bayi yang baru lahir dan senyuman di bibir orang yang meninggal dengan tenang. Tampaknya kondisi sebelum lahir di dunia ini sangat nyaman, sehingga si bayi menangis karena di renggut dari kondisi yang nyaman tersebut, dan orang yang meninggal dengan tenang tampak tersenyum damai karena bakalan kembali merasakan rasa nyaman itu. Entah kondisi itu surga, atau Tuhan itu sendiri.
Kedua, kita ambil hikmah dari orang yang merayakan kelahiran si bayi dan menangisi kematian si manusia Apa sih yang membuat kita senang akan kelahiran seorang bayi? Marilah jujur pada diri sendiri, kalo rasa senang itu terhadap bahwa kita akhirnya memiliki keturunan. Jadi rasa bahagia itu lahir dari rasa kepemilikan. Dan yang kita tangisi itu juga diri kita sendiri. Kita menangisi kemalangan kita yang kehilangan apa yang pernah kita miliki, seorang manusia yang telah meninggal. Rasa sakit itu lebih di karenakan bahwa milik kita telah di ambil, dan kita tidak rela. Padahal memangnya itu milik kita? 😆 Ah, betapa egoisnya kita manusia ini.
Tapi tidak pada tempatnya juga sih kita sedih ketika seorang bayi lahir, marilah kita rayakan juga, tapi diiringi kesadaran penuh bahwa di dunia ini adalah sarana belajar bagi si bayi untuk mencapai kesempurnaan.
Dan akhirnya marilah merayakan kematian, sebab kematian adalah berarti si manusia telah pulang ke rumah sejati, dengan kesempurnaan yang di dapat di dunia ini. Mari berpesta!!!
“Turut berbahagia atas meninggalnya bapak X”
…
…
…
Ng, kayaknya perlu sosialisasi besar-besaran dulu 😆
@dana kalau aku mungkin lebih kepada biasa-biasa ajalah…, kalau aspek tangs dan tawa sudah tersedia, yach gunakann saja…
kalau tertawa tentang bayi lahir, engga lama juga tertawanya..begitu eforia hilang kekesalan pun hadir…kebebasan berkurang…mau pergi-pergi terhalang, tidur malam terganggu akh …mana itu tertawa yg dulu..mana itu kebanggaan….
Kalau menangis karena kehilangan, juga nangisnya engga lama-lama, sudah dikubur, berkunjunglah beberapa hari…berkurang sebulan beberapa kali, berkurang lagi setahun beberapa kali…bahkan..sampai sipenjaga kubur datang…bu..kuburan bapak mau kami bersihkan…sudah tinggi kali lalangnya….eh..sudah lupa kalau ada kuburan yang dulu ditangisi…pake nada (bukan dana…na..da…) pulak itu…
yah biasa-biasa ajalah….ada senyum pakek, ada nangis..pakek..ada hua..ha..ha.ha..pake…
“hore ada yang mati” masa kek gitu??
mmm…betul juga..meskipun hidup dijalani dengan senang hati, pasti masih ada sesuatu yg mengganjal di dalam hati ini…halah
Membaca tulisan mas Dana yang ini jadi ingat salah seorang guru saya…perkataan beliau persis dengan 2 poin renungan mas Dana tentang kelahiran dan kematian.
**************
Lho kematian tidak ada salahnya untuk dirayakan hehehe…
Karena dengan kematian kemungkinan menambah dosa berhenti.
Memang “melanjutkan” kehidupan (melanjutkan?—> kok kesannya ada pilihan ya hehehe) memiliki dua kemungkinan….menambah dosa atau mengurangi dosa (syukur2 menambah pahala).
Tetapi kok rasa2nya untuk orang seperti saya ini peluang antara terjadinya 2 hal itu tidak 50-50 ya. Peluang yg lebih besar adalah
sayaakan menambah dosa.****************
Ada tambahan Mas…
Jangan berkhusnudzon (berbaik sangka) dulu. 😀
Lho?
Siapa tahu keluarganya menangis bukan karena sedih ditinggalkan sosok sang wafat itu sendiri. Mungkin juga mereka nangis karena tidak diberi warisan harta, melainkan warisan tunggakan hutang.
hehehehehehehe
*kabur dulu ach*
ini nyindir Ma ya!?!?!!??!?!?!??!?!??!?
*kesindir masalah poin kepemilikan*
Mungkin itu emang bener Dana, tapi Ma bakal tetep sedih (kaya yang Ma tulis di postnya Hiruta) entah karena seluruh keegoisan Ma karena apa yang deket sama Ma pergi, Ma ga bakal bisa ketemu lagi, ga bisa sayang sayangan lagi, ga bisa maen maen lagi, ga bisa ngeliat dia lagi,, Ma ngebayanginnya aja udah sedih banget..
*dan Ma pun banjir sekarang, beneran* 😥
mungkin itu bener bener keegoisan Ma aja,, tapi Ma mungkin masih bakal begitu buat waktu yang lama,,
Ma bakal move on,, tapi ga bakal lupa,,
aaarggh,, Dana bikin Ma banjir! benci!!!!
ya ya … warisan hutang, mungkin salah satu alasan yang pantas untuk menangis. hahahaa …. 😀
Hmm…
contoh ah,
[1] `Mengucapkan selamat dan bahagia pada Bapak Danalingga sekeluarga atas kelahiran putra-putri pertamanya` (anak kembar nih ceritanya)
Atau pas baca berita misalnya,
`Telah berpulang ke rahmatullah `jejakpena` pada hh/bb/thn sekian`
Apa bakal tidak mengerikan kalau headline-nya itu jadi
[2] `Mari kita rayakan kematian… `
bukannya
[3] `Turut Berduka cita bla bla…`
Esensi bahagia untuk even [1] dan [2] tidak akan pernah sama! 👿
*manusiawi mode ON* 😆
—
Btw, nilai hakiki, kalau kita bisa ikhlas karena paham orang itu kembali ke tempat asalnya, mungkin esensi bahagia itu bisa ada dalam hati, meskipun pada kenyataannya rasa kehilangan itu tetap saja ada, karena kebersamaan yang rill (kaya Rizma bilang) udah putus.
Nice article, it turns us to think more 😉
ps: semua contoh adalah rekayasa belaka 😆
merayakan kematian dengan selalu mengingat kapan kita akan menyusul.. merayakan tidak hanya sendiri tapi berjamaah..
*merayakan atau merenung?*
@kopral
Sebenarnya sih nggak perlu sosialisasi ucapannya. Yang di butuhkan itu hanya kepastian bahwa kalo si mati telah berbahagia kembali kepadaNya. Jika kepastian itu diperoleh otomatis kita seharusnya menyadari buat apa coba berduka cita? Wong yang di duka citain lagi menikmati merayakan kebahagiaan telah pulang ke rumah sejatinya.
@zal
Heh! Jadi yang biasa biasa aja nih Zal. *jadi inget lagu dangdut*
Tapi zal ketika melihat bahwa si mati tengah merayakan kepulangannya ke rumah sejati, hati ini juga jadi turut bahagia dan ingin ikut merayakan.
@kump45
ndak gitu jugalah kump *kecuali mau di bakar massa* 😆 . Perayaan ini hanya bisa dilakukan bersama yang mengerti. Kalo di masyarakat awam
katanya biar manusiawi, yah terpaksa deh bersandiwara ikut sedih. Padahal sebenarnya hati ini ingin ikut merayakan bersama si mati yang sedang berpesta di rumah sejati.@Pak De King
Wah jangan-jangan memang saya gurunya itu. 😆
Wah tapi jika setelah mati dia harus membayar dosanya, keknya saya malah jadi sedih, alih-alih mau merayakan, malah jadi duka kepanjangan.
Intinya ya menangisi diri sendiri sebenarnya. 😆
*kejar pak de*
@ Ma
ndak kok Ma, sumpeh deh. 😆
Secara singkat sih comment Ma yang ini saya sebut manusiawi karena yang Ma lihat emang menyedihkan. Tapi manusiawi juga donk saya merayakan kematian itu ketika saya lihat bahwa si mati sedang merayakan kebahagiaannya pulang ke rumah sejati.
Justru ini sedang diajari biar nggak banjir mulu. 😆
@watonist
Itu namanya menangisi diri sendiri.
@Hiruta
Comment untuk contohnya:
Mengapa berduka cita jika kita melihat bahwa si mati sedang merayakan kebahagiaannya di rumah sejati? Tanya ken…napa? 😆
napa mesti merasa kehilangan ya? Emang si mati itu milikmu?
thanks.
@almascatie
Wah itu mah merenung. Merayakan yang saya maksud adalah benar benar berpesta, ikut merayakan kebahagaiaan si mati di rumah sejati.
err…
keknya perlu pembiasaan dulu deh…
=====
selamat berbahagia atas kematian Mr.X…
=====
apa ga malah digebukin orang sekampung tuh Mas?
Makanya nggak boleh sembarangan.
Kita tetap perlu bersandiwara di hadapan orang yang belum menyadarinya. 😆
*tapi keknya siwi ndak baca comment nih, kan dah dijelaskan di comment tuh*
wah jadi pengen mati.. 😥
Sileh, bukankah nada, intonasi, gaya bahasa menunjukkan arah, jika diancuk kon, tak guepuk lambemu…doebleh kabeh..ngerti kon, jika dibanding dengan diancuuuuk…he..he….lha kan beda….(wes suroboyoan dhurung…???, bahhh sok jawa pulak aku ini…he..he
@kump45
Wah dah pengen mati, emang belajarnya dah selesai?
@zal
opo iki rek? 😆
Iya cuk. (iki wis suroboyoan).
duh kang.. butuh kekuatan dan kayaknya harus mutusin urat kemanusian nih untuk melakukan pesta perayaan kematian nih 🙂
eh tapi sebenernya dah ada sih perayaan kaya gitu… tiap tanggal 17 an kan dah merayakan
kemerdekaankematian para pahlawan yang telah berjuang 🙂urat kemanusiaan apa urat tradisi? 😆
dua-duanya dan ditambah urat malu..
kalo seandainya urat tradisi, generasi mana yang akan memulainya nih.. danalingga mau memulai kah 🙂
Wah kalo menurut saya hanya tradisi saja,
soalnya apakah tidak manusiawi orang yang merayakan kematian sebab si mati sendiri merayakan kebahagiaan telah pulang ke rumah sejati?
Saya sudah melakukan pak. Tapi hanya pada kematian di mana si mati sendiri memang merayakannya.
nah itu dia.. dapatkah kita tahu apakah yg mati merayakan kematian itu atau ga? apakah semua yg mati itu merayakan kematian mereka?
*binun 😀 *
@dana, sepertinya tidak selalu dapat diuniversalkan…
tidak semua dipertemukan sama,kayaknya istilahnya “pengalaman pribadi” (untukmu agamamu, untukku agamaku…):
seperti postingan ini..he..he
“Saya sudah melakukan pak. Tapi hanya pada kematian di mana si mati sendiri memang merayakannya”
iyalah percayalah aku…
tapikan, Allah bekerja dengan “tidak diduga-duga” jika sdh terduga engga surprise donk….meskipun dilakoni dengan cara yg sama, atau komat-kamit yg sama atau engga komat-kamit yg sama, persamaan mungkin ada, namun tetap tidak sama…mungkin uniq namanya ya…
rasanya manusiawi bila kita berbahagia menyambut kelahiran dan bersedih menghadapi kematian. Apalagi dari orang yang sangat kita sayangi.
menurut saya, kelahiran dianggap sebuah kebahagiaan, karena ibu bapak kita merasa mereka telah berhasil memberikan sebuah kehidupan baru bagi kita, setelah dengan ijin Tuhan tentunya, hingga sang bayi pun lahir. Mereka berbahagia melihat tangis sang bayi, yang artinya, ia lahir dengan sehat dan selamat. Mereka berbahagia dengan wajah mungil dan lucu sang bayi yang dapat memberikan mereka kelegaan dan kebanggaan sembari dalam hati berdoa “Tuhan, jadikanlah ia anak yang berbakti, bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, dan bangsanya. Jadikanlah ia pribadi yang budiman dan selalu ingat akan Mu, Tuhan”.
More here..
@almascatie
Tentu dapat.
tidak semua tentu, hanya orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan dalam hidup ini.
@zal
Iya zal merayakan kematian ini emang kasus spesial, tapi sebenarnya ada tujuan saya untuk membuat artikel ini sehingga seolah olah saya mengajak untuk merayakan semua kematian.
Salah satunya adalah munculnya pertanyaan dari almascatie di atas commentmu itu.
@ricky
ini pandangan saya:
Yah manusiawi memang jika sudut pandangnya demikian. Tapi bagaimana bila:
saya dapat melihat kalo si mati sedang merayakan kebahagiaan telah berpulang ke rumah sejati.
apakah tidak manusiawi namanya jika saya turut merasakan kebahagiaan si mati?
Bukankah kita juga akan turut bahagia ketika orang terkasih merasakan kebahagiaan?
nah sekarang yang terpenting adalah kita dapat belajar agar kita tahu kondisi si mati setelah kematian itu, sehingga dapat menentukan sikap apakah kita patut merayakan atau berduka cita.
Kalo berduka cita pada yang ditinggalkan, nah itu lain lagi pertanyaannya.
Jangan mati dulu, Indonesia butuh anda!
ikut mbaca saja.
@k’baca
iya jangan mati dulu.
@nayz
silahkan.
aku kan bacanya post-nya.
komen nanti dulu…
iya..iya…, dipermaklumkan kok.
Tapi konfirmasinya (inpotement mode on) malah ada di coment tuh.
Seperti ini biasa saya sebut pikiran kosong. Dan ini adalah pikiran yang menarik.
Tak pernah berpikir seperti itu karena:
1)Pedophobia, benci anak kecil.
2)Tidak menangis melihat orang mati.
bagus tulisanya…
jenaka penuh makna…
iblis cantiknya jg bagus…
@D.A
Makasih…makasih…
Eh tapi itu pujian kan? 😆
kok bisa ? 😕
@mariska
walah makasih banyak, semoga anda di berkati.
mungkin juga mereka menangis karena memikirkan biaya utk kematiannya..
biaya utk kematian?
iya, di bali, meninggal pun dibutuhkan uang utk menguburkannya, apalgi kalau pakai upacara ngaben, bisa jutaan tuh biayanya.. 😀
Weleh..weleh…mati aja masih meninggalkan kerepotan ya? atau emang yang di tinggalkan aja yang ingin repot sendiri agar ….. ?
*merenung*
kalau mau merasakan surga, lahirlah sebagai malaikat dan matilah sebagai manusia. Bayi menangis karena takut akan kehidupan yang akan dijalani…(betul). Tapi kenapa setelah dewasa pikiran itu hilang?. saat dikandunggan kita tahu betul arti sebuah kehidupan nanti,…saat lahir kenapa banyak yang lupa arti kehidupan???…
Bisa jadi setelah dewasa pikiran itu hilang, karena lebih sibuk memikirkan yang lain.
mungkin karena kaget. 😀
Kaget akan susahnya cobaan kehidupan
iya tuh, padahal kehidupan sih begitu begitu aja.
Tragisnya pesta kematian telah di tuliskan oelh suatu budaya yang seolah olah di benarkan di dalam hidup ini sperti halnya certia sundelbolong atau mengerikan sekali cerita siksa neraka yang di tuangkan kedalam sebuah ancaman di dalam Kitab suci.
salah setting yang menjadi pembenaran di dalam hidup ini sangat tragis dan perlu waktu yang panajang buat kita untuk menerima kematian sebagai kebahagiaan seperti keberanian siti jenar menutup pintu dirinya dari gannguan orang luar agar dia bisa lebih mesra dengan Tuhannya seperti Al-hallaj yang rela menuju kebahagiaan nya bertemu Tuahn di tiang gantungan.
iya, padahal apa tragisnya sih jika kematian merupakan pintu untuk menuju kepadaNya.
tapi sayang nya, orang yg deket dengan Tuhan dianggap aneh dan menebarkan ajaran sesat dan di musuhi karena tidak sesuai dengan kitab yg di bilang suci.
Sebenarnya kalo menurut pemahaman saya sih bukan karena tidak sesuai dengan kitab suci, tapi lebih dikarenakan tidak sesuai dengan pemahaman akan isi kitab suci dari orang orang yang merasa memiliki pemahaman paling benar.
Sebab dari pengalaman saya sejauh ini, justru yang di tuduh sesat tersebut kadangkala malah lebih melaksanakan ajaran kitab suci di banding yang menuduh sesat.
Kematian sering ditangisi karena orang2 terdekatnya terkadang lupa saat hidup, masih banyak hal yang belum diberikan (belum bisa balas jasa dll misl kematian ortu).
Atau kadang kematian itu berarti juga ‘kematian’ secara ekonomi bagi keluarganya (jika si mati seorang ayah yg menjadi tumpuan hidup keluarganya)…
Jika memang begitu, ternyata yang ditangisi adalah diri sendiri. Bukan yang mati.
kalau saya mati tolong jangan mampirkan ke surga atau neraka Tuhan !
“Jika memang begitu, ternyata yang ditangisi adalah diri sendiri. Bukan yang mati.”
Tepat mas, karena itu jugalah kematian jarang dirayakan, karena yang ditinggal mati terlalu sedih dengan kenyataan dirinya sendiri itu.
Dan tentu saja si Matipun juga ngga mungkin merayakan sendiri bukan? (tapi saya ngga tau apakah di alam sana dia ‘bergembira’ 😀 )
Yah, umumnya sih memang begitu. Yang ditinggal bersedih ria. Padahal bisa jadi yang mati sedang berpesta di alam sana.